Pada tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Majapahit
beserta Empu Nala mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna
membuktikan cita – citanya yang terkandung dalam Sumpah Palapa. Nusantara
bersatu di bawah lambing bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang
bijaksana yaitu Hayam Wuruk dengan Maha Patih yang sakti yaitu Gajah Mada.
Pada waktu rakyat
kerajaan Tana Samawa dibawah pimpinan raja yang mulia kepada kerajaan Majapahit
serta memeluk agama Hindu. Sisa – sisa peninggalan ajaran agama Hindu sampai
sekarang masih dapat ditemukan dalam praktek kehidupan mayarakat Samawa sehari
– hari terutama di desa – desa atau daerah terpencil. Misalnya mengantar
sesajen ke tempat mata air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain
– lain yang dianggap keramat.
Raja Nuang Sasih
memimpin kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tenteram serta adil dan
makmur. Karena itu raja Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.
Disuatu pagi yang
cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana kerajaan Tana Samawa penuh sesak
dengan tentara kerajaan , hulubalang, para menteri, punggawa, dan panglima
kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama
kemudian Raja Nuang Sasih yang bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang
diberi nama Ruang Sidang Sri Menganti itu. Paduka Raja diiringi oleh para
pengawal istana yang sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang
khidmat kepada Raja Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai
pembicaraan.
”Wahai Panglima”
kata Raja
”Daulat Tuanku
Syah Alam,” jawab Panglima segera
”Apakah para
pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa, dan para menteri sudh hadir
seluruhnya?”, kata Raja Luang Sabih.
“Ampón yang
Mulia, pimpinan balatrentara, para punggawa, dan para menteri kerajaan
seluruhnya telah Sian,” jawab Panglima Kerajaan.
Setelah mendengar
laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera memberikan mejangannya.
”Panglima, para
menteri, punggawa, serta pimpinan bala tentara kerajaan, maksud dan tujuan kita
berkumpul di Ruang Sidang Sri Menganti ini yaitu untuk membicarakan penjgaan
dan pengawalan terhadap putri Mahkota Kerajaan yaitu Puteriku lala Baka. Saya
perintahkan kepada semua yang hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku
dari perbuatan – perbuatan tercela, hingga tidak memalukan kita semua, dan
seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa ini,” kata Raja bertitah.
”Pengawal !’,
kata Raja memanggil pengawalnya.
”Daulat Tuanku”,
jawab pengawal.
”Segera panggil
puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang di ruang sidang ini sekarang juga,”
ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal.
”Daulat Tuanku
Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka.
Lala Baka adalah
puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa yang disanjung dan didambakan oleh seluruh
rakyat Tana Samawa. Teristimewa
oleh Paduka yang mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama
kemudian Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi
dayang – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap ayahanda
tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka beserta pengiring
langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan kesetiaan puteri mahkota.
Setelah itu, Baginda Raja memulai pembicaraan.
”Wahai Puteriku
tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan.
”Daulat ayahanda
tercinta,” jawab Lala Baka.
”Maksud dan
tjuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah aku bermaksud
menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteriku. Dan aku ingin agar
nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para menteri, panglima, dan seluruh
untusur pimpinan kerajaan,” kata Baginda Raja.
”Daulat ayahanda
tercinta,” ucap puteri mahkota Lala Baka.
”Begini anakku”,
kata Baginda Raja memulai nasehatnya. ”Puteri Mahkota adalah memrupakan contoh
dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta kepadamu peliharalah
dirimu agar tidak terjerumus dalam lembah kehancuran. Terlebih – lebih dirimu
seorang perempuan dan puteri raja. Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblis
yang jahat. Bersediakah kau puteriku memelihara dirimu?’, ungkap baginda Raja
dengan mengajukan pertanyaan.
Lala Baka
tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang mengandung
harapan guna menjaga kehormatan keluarga kerajaan itu. Segeralah Lala Baka
menjawab pertanyaan baginda raja.
”Ampun yang
Mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda tercinta dan dihadapan
seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara diri dan tidak akan
memealukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa
tercinta,” jawab Puteri Mahkota.
Baginda Raja
Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar dengan penuh perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai
seorang Puteri Mahkota. Kemudian baginda Raja melanjutkan.
”Para Menteri,
Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja.
“Daulat baginda
Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
“Sudahkah kalian
semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Dan sanggupkah kalian untuk menjaga
dan memelihara keselamatannya?” tanya Baginda Raja lepada para Menteri,
Panglima, dan Punggawa kerajaan.
“Daulat Tuanku.
Kami semua sudah mendengar dan menyaksikan. Dan kami semua Sian untuk menjaga
dan memelihara keselamatan Tuan Puteri”, jawab para menteri, panglima, dan
punggawa serentak.
Baginda Raja
merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap Menteri
Panglima dan Punggawa untuk menjaga danmemelihara keselamatan Tuan Puteri.
Kemuadian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan melanjutkan pembicaraan.
”Tapi ingat
apabila Puteriku melanggar sebagala nasihatku maka aku akan memberikan hukuman
yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau menerima hukuman?’ kata
Baginda Raja.
”Daulat ayahanda
tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji maka hukumlah hamba dengan
hukuman yang seberat – beratnya. Hamba bersedia,” kata Puteri Mahkota
meyakinkan ayahandanya.
Karena sudah
tidak ada lagi yang akan disampaikan oleh Baginda Raja maka pertemuan itupun
diakhiri. Paduka Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri meninggalkan ruang sidang
Sri Menganti diiringi oleh Patih, Panglima, Menteri dan Punggawa.
Hari bergaanti
hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada porosnya. Siang berubah
menjadi malam dan malampun berubah menjadi siang. Demikianlah hidup manusia di duania fana ini.
Suatu masas ia bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sehat dan ada kalanya
manusia itu sakit. Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah – ubah.
Setahun kemudian,
kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan menciderai nama
mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka ditimpa Mala
Petaka. Ia hamil tiga bulan tanpa nikah. Dan rahasia ini diketahui oleh Paduka
Yang Mulia. Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib puteri Mahkota Lala Baka
yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia. Peristiwa kelabu ini
terjadi kira – kira tahun 1480 masehi, sebelum Agama Islam mmasuk ke Tana
Samawa.
Di suatu pagi
yang cerah, di ruang sidang Sri Meganti, Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih
dihadapi Patih, Panglima, Para Menteri dan para Punggawa guna mendengarkan
perintah yang harus dilaksanakan. Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.
”Wahai Patih,
Panglima dan Para Menteri,serta para Punggawa pada saat ini kerajaan telah
ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus kulakukan kepada putriku Lala
Baka ?”, kata Baginda Raja Nuang Sasih meminta pertimbangan.
”Ampun yang
Mulia. Segala putusan hamba
serahkan kepada Baginda Yang Mulia. Sedangkan hamba Sian melaksanakannya”, kata
salah seorang menteri.
Putriku telah
memberi malu lepada rakyat tana samawa. Hukuman yang akan kuberikan kepada
putriku adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya”, kata Raja Nuang
Sasih.
”Daulat Tuanku”,
kata salah seorang Patih.
”Wahai Patih dan
Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di dalam sebuah hutan lebat.
Hutan itu terletak di sebelah desa Senawang. Di dalam hutan itu adasebuah gua
yang namanya Liang Bedis. Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah
sepasukan tentara pengawal istana”, titah Paduka Raja.
”Daulat Tuanku
Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah Paduka Tuanku. Kapan hamba
akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih.
”Dua hari yang
akan datang. Sekarang
lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.
Sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Putri Macota Kerajaan Tana Samawa
Lala Baka yang dirundung malas atas perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu
hidup bahagia, tenag dan tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini
akan menerima hukuman dari ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala
Baka tidak pernah keluar dari peraduannya.
Sehari sebelum
penbuangan dilaksanakan, kakek tercinta menmui cucunya yang sangat disayanginya
itu. Dengan air mata berlinang dengan suara terput - Â putus memeluk cucunya yang sangat
disayanginya.
”Cucuku! Cucuku!
Aku sayang padamu!”, kata kakek itu terbata – bata.
”Ampunkan hamba
kek, hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasehat ayahanda tercinta.Hamba
telah memberi malu keluarga dan seluruh kerajaan. Hukuman apapun yang diberikan
oleh ayahanda akan hamba terima dengan hati terbuka’, kata Lala Baka seraya menitikkan
air mata seolah – olah menyesal atas perbuatannya.
”Sabarlah cucuku!
Menurut khabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku akan dibawa oleh Patih,
Panglima, beserta pasukan Pengawal Istana ke sebuah hutan lebat sebelah selatan
dusun Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua namanya liang bedis. Di
situlah cucuku akan diasingkan.
”Benarkah Kek?”,
tanya Lala Baka.
”Benar Cucuku!”,
jawab kakeknya.
Mendengar jawaban
kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang ke hutan rimba
belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja susananya akan gelap
gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika dirinya ditimpa sakit atau
kesulitan. Dipandangnya kakeknya seolah – olah memohon belas kasihan. Lalu
Katanya :
”Hamba mohon
kepada kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba ditempat pembuangan”,
kata Lala Baka memelas.
”Baiklah Cucuku.
Demi keselamatan jiwamu. Kakek akan memberikan padamu sebuah azimat yang tidak
pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat jangan sekali – kali kau perlihatkan kepada ayahmu atau kepada
siapaun”, kata Kakeknya memberikan harapan dan nasehat.
”Baiklah Kek!
Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka
”Inilah azimat
itu Cucuku! Sebuah cincin bernama Cicin Bermata Biru. Dalam permata biru ini
ini terdapat jin raksasa yang akan menghancurkan segala bala dan petaka yang
akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini da apabila ada yang datang
mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus kepada yang datang mengganngu.
Niscaya musnahlah segala gangguan itu,” kata Kakek menjelaskan.
”Terima kasih
kek,” kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin Permata Biru itu ke jari manisnya
yang lentik. ”Doakan hamba selamat ya Kek,” kata Lala Baka.
Keesokan harinya
pada hari yang cukup cerah tibalah saat pembuangan yang telah ditetapkan Paduka
Yang mulia Raja Nuang Sasih terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima
dan pasukan tentara pengawal istana sudah siap. Patih menghadap Putri Mahkota
Lala Baka guna menjemput Lala Baka untuk
segera melaksanakan perintah Yang Mulia.
”Ampu Yang Mulia
Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja
Yang Mulia,” kata Patih Kerajaan.
”Apakah itu
Patih?” tanya Lala Baka seolah-olah belum mengetahuinya.
”Hamba dan
panglima beserta seluruh pasukan pengawal istana diperintahkan oleh Paduka Yang
Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang Bedis,” kata Patih
sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih.
”Ya. Baiklah
Patih. Aku telah pasrah menerima seluruh hukuman yang telah diberikan ayahanda
kepadaku. Bawalah aku sekarang juga,” kata Lala Baka pasrah.
Maka naiklah Lala
Baka ke atas usungan. Berangkatlah lala Baka dan rombongan menuju selatan
Kerjaan Tana Samawa yaitu ke Liang Bedis
di wilayah Dusun Senawang. Dalam perjalanan, Lala Baka diusung oleh laskar
pengawal istana diiringi oleh Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna
kesedihan yang sangat menyayat hati.
Sekarang mereka
berjalan menyusuri Barng Biji yang berhulu di Gungu Batu Lanteh dan bermuara di
laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari perjalanan sampailah mereka di
sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput yang luas. Padang rumput itu bernama
lenang Lengan. Padang rumput tersbeut terletak di sebelah barat Desa Lenangguar
yang jaraknya kira-kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam
wilayah desa Lenangguar.
Para rombongan
membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama semalam. Lala
Baka diusung ke dlaam kemah dengan cara yang tidak berubah sebagaimana layaknya
Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemuaidan Patih berucap:
”Ampunkan hamba.
Kami mohon kepada Putri Yang Mulia jangan mempersalahkan kami. Tindakan hamba
hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia,” kata Patih.
”Oh. Aku telah
mengetahui semuanya. Tindakan-tindakan
para pembesar kerajaan adalah perintah ayahanda tercinta. Kalian smeua tidak
bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena diriku telah
bersalah memalukan paduka Yang Mulia dan seluruh rakyat Tana Samawa. Pepatah
mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu aku telah bersumpah
dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah melakukan kesalahan maka aku pula
yang harus menanggung resikonya,” kata sang Putri Mahkota dengan tenang.
Perjalanan selama
sepuluh hari telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan tidak
dibolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan keadaan
kepada Putri Mahkota.
”Wahai Putri
Mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan, persiapan bekal telah
habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang maish
tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar diketahui oelh Tuan Putri,” lapor
Patih kepada Lala Baka.
Lala Baka
termenung sejenak. Lala kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang
ada di dalam kemah untuk keluar.
”Ku pinta keada
semua yang hadir di dalam kemah ini untuk kelua, karena saya ingin
beristirahat,” ujar Lala Baka.
Maka segeralah
Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari kemah. Mereka maklum
bahawa sang Putri dalam keadaan lelah. Sekarang biarkan sang Putri beristirahat
untuk menjaga supaya tidak sakit. Di dalam kema, Lala Baka teringat akan Cincin
Permata Biru pemberian kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib
cincin itu apakah memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi
masalah. Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya Cincin Permata Biru itu
sambil berkata:
”Ampun Kek!
Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk pauk kami dalam
perjalanan ini,” ucap Lala Baka kepada Cincin Permata Biru itu. Alangkah
anehnya, dari cincin itu keluarlah jin raksasa yang siap melaksanakan perintah
Tuan Putri. Segeralah setelah sang Putri memerintahkan, maka jin raksasa itu
langsung mausk hutan tanpa ada seorang pun yang dapat melihatnya kecuali Sang
Putri Lala Baka. Jin raksasa segera menangkap seekor kijang besar, lalu kijang
itu dibawa ke perkemahan. Tidak ada yang melihat jin raksasa itu. Patih dan
para Menteri melaporkan bahwa adan kijang jantan besar masuk ke perkemahan.
”Sembelihlah
kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri.
Segenap anggota
rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Putri Kerjaan yang selama
ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa seluruh rombongan menitikkan air
mata pertanda ada goresan luka di dada atas nasib yang menimpa Tuan Putri.
Sebelum mereka berangkat pulang, kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan
Para Menteri.
Paman Patih dan
seluruh Manteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan maafku yang terakhir
kapada ayahanda tercinta permaisuri. Salam hormatku juga untuk kakekku juga untuk seluruh rakyat Kerajaan Tana
Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan perpisahan untuk selama-lamanya,”
ujar Lala Baka. Tak terasa sesuai mengucapkan kata-kata itu Lala Baka menangis
sesegukan. Sebagai manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada.
Rasa sedih dan duka, keharuan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah
suratan takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia.
”Tuan Putri
sekarang kami mohon pamit,” kata Patih mengakhiri perjumpaan itu. Selanjutnya
sleuru rombongan kembali pulang meninggalkan sang Putri sendirian di dalam
hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.
·Â Â Â Â Â Â Â Lahirnya
Sang Putera
Lala Baka tinggal
sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis. Dunia terus berputar
mengikuti takdirnya. Waktu berjalan bagaikan air yang mengalir. Berbagai
peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia
ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu tentang peristiwa itu karena dirinya terasing
dalam suatu dunia yang hampir-hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani
hidup dan kehidupannya dnegan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian
bertambah besar maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya
kehidupan Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenangd an
tenteram.
·Â Â Â Â Â Â Â Pertemuan
dengan Pen Batang
Di suatu pagi
yang cerah datanglah seorang pemburu ke hutan itu. Pemburu itu datang untuk
berburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawang. Tiba – tiba Pen Batang
menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak menuju ke anak sungai.
Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah heran, karena terdapat bekas mandi
manusia. ”Hm selama hidupku datang berburu ke tempat ini belum pernah berjumpa
dengan manusia,” bisik pen batang kepada dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen
Batang mendorongnya untuk kembali mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng
gunung tersebut. Kira – kira 25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuah gua.
Diperhatikannya gua itu dengan teliti dan hati – hati. Pen Batang mengendap
perlahan – lahan mendekati gua itu. Tiba – tiba dari dalam gua terdengar suara.
”Apakah tujuan
kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua.
Pen Batang
terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari dalam gua itu
adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan kedengarannya ramah.
Pikir Pen Batang jangan – jangan suara itu bukan suara manusia tetapi suara
mahluk halus penunggu gua itu. Tetapi Pen Batang segera juga menjawab
pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu.
”Oh.... ya. Aku
datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan.
”Masuklah dulu ke
tempatku ini kek,” kata Lala Baka melanjutkan.
”Terima kasih
nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua Liang Bedis
itu. Lala Baka menerima kkehadiran
kehadiran orangtua itu dengan ramah sambil menggendong puteranya.
”Kalau aku boleh
tahu. Siapakah nama cucuku yang masih bayi ini anakku?” tanya Pen Batang ingin
tahu.
”Oh ya kek. Cucu
kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka.
Begitu mendengar
nama itu disebut oleh Lala Baka maka Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala
Baka.
”Ampun Yang
Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu ketenangan Tuan
Putri Yang Mulia,” kata Pen Batang setelah tahu siapa sesungghnya yang ada
didepannya sekarang.
Melihat Pen
Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan.
”Oh. Tenanglah
Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ke tempat ini untuk menyelamatkan
diri”, kata Lala Baka sambil menarik Kakek itu untuk duduk sepertinya biasanya.
Kemudian Pen
Batang melanjutkan pembicaraan.
”Telah tersebar
khabar bahwa baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang Putri Mahkota
Kerajaan ke suatu tempat di hutan yang lebat. Peristiwa itu terjadi sekitar 7
bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan Puteri Yang Mulia adalah puteri
tunggal Baginda Raja Nuang Sasih, Raja Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang.
”Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan
Puteri. Hamba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang
serius.