Meke Serep

  • Pertemuan Di Ruang Sidang

Pada tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Majapahit beserta Empu Nala mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna membuktikan cita – citanya yang terkandung dalam Sumpah Palapa. Nusantara bersatu di bawah lambing bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang bijaksana yaitu Hayam Wuruk dengan Maha Patih yang sakti yaitu Gajah Mada.  

Pada waktu rakyat kerajaan Tana Samawa dibawah pimpinan raja yang mulia kepada kerajaan Majapahit serta memeluk agama Hindu. Sisa – sisa peninggalan ajaran agama Hindu sampai sekarang masih dapat ditemukan dalam praktek kehidupan mayarakat Samawa sehari – hari terutama di desa – desa atau daerah terpencil. Misalnya mengantar sesajen ke tempat mata air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain – lain yang dianggap keramat.  

Raja Nuang Sasih memimpin kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tenteram serta adil dan makmur. Karena itu raja Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.  

Disuatu pagi yang cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana kerajaan Tana Samawa penuh sesak dengan tentara kerajaan , hulubalang, para menteri, punggawa, dan panglima kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama kemudian Raja Nuang Sasih yang bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang diberi nama Ruang Sidang Sri Menganti itu. Paduka Raja diiringi oleh para pengawal istana yang sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang khidmat kepada Raja Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.  

”Wahai Panglima” kata Raja
”Daulat Tuanku Syah Alam,” jawab Panglima segera
”Apakah para pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa, dan para menteri sudh hadir seluruhnya?”, kata Raja Luang Sabih.
“Ampón yang Mulia, pimpinan balatrentara, para punggawa, dan para menteri kerajaan seluruhnya telah Sian,” jawab Panglima Kerajaan.
Setelah mendengar laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera memberikan mejangannya.  

”Panglima, para menteri, punggawa, serta pimpinan bala tentara kerajaan, maksud dan tujuan kita berkumpul di Ruang Sidang Sri Menganti ini yaitu untuk membicarakan penjgaan dan pengawalan terhadap putri Mahkota Kerajaan yaitu Puteriku lala Baka. Saya perintahkan kepada semua yang hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku dari perbuatan – perbuatan tercela, hingga tidak memalukan kita semua, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa ini,” kata Raja bertitah.  

”Pengawal !’, kata Raja memanggil pengawalnya.
”Daulat Tuanku”, jawab pengawal.
”Segera panggil puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang di ruang sidang ini sekarang juga,” ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal.
”Daulat Tuanku Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka.  

Lala Baka adalah puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa yang disanjung dan didambakan oleh seluruh rakyat Tana Samawa. Teristimewa oleh Paduka yang mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama kemudian Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi dayang – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap ayahanda tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka beserta pengiring langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan kesetiaan puteri mahkota. Setelah itu, Baginda Raja memulai pembicaraan.  

”Wahai Puteriku tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan.
”Daulat ayahanda tercinta,” jawab Lala Baka.
”Maksud dan tjuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah aku bermaksud menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteriku. Dan aku ingin agar nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para menteri, panglima, dan seluruh untusur pimpinan kerajaan,” kata Baginda Raja.
”Daulat ayahanda tercinta,” ucap puteri mahkota Lala Baka.

”Begini anakku”, kata Baginda Raja memulai nasehatnya. ”Puteri Mahkota adalah memrupakan contoh dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta kepadamu peliharalah dirimu agar tidak terjerumus dalam lembah kehancuran. Terlebih – lebih dirimu seorang perempuan dan puteri raja. Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblis yang jahat. Bersediakah kau puteriku memelihara dirimu?’, ungkap baginda Raja dengan mengajukan pertanyaan.

Lala Baka tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang mengandung harapan guna menjaga kehormatan keluarga kerajaan itu. Segeralah Lala Baka menjawab pertanyaan baginda raja.

”Ampun yang Mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda tercinta dan dihadapan seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara diri dan tidak akan memealukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa tercinta,” jawab Puteri Mahkota.  

Baginda Raja Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar dengan penuh  perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai seorang Puteri Mahkota. Kemudian baginda Raja melanjutkan.

”Para Menteri, Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja.
“Daulat baginda Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.
“Sudahkah kalian semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Dan sanggupkah kalian untuk menjaga dan memelihara keselamatannya?” tanya Baginda Raja lepada para Menteri, Panglima, dan Punggawa kerajaan.

“Daulat Tuanku. Kami semua sudah mendengar dan menyaksikan. Dan kami semua Sian untuk menjaga dan memelihara keselamatan Tuan Puteri”, jawab para menteri, panglima, dan punggawa serentak.  

Baginda Raja merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap Menteri Panglima dan Punggawa untuk menjaga danmemelihara keselamatan Tuan Puteri. Kemuadian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan melanjutkan pembicaraan.  

”Tapi ingat apabila Puteriku melanggar sebagala nasihatku maka aku akan memberikan hukuman yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau menerima hukuman?’ kata Baginda Raja.  

”Daulat ayahanda tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji maka hukumlah hamba dengan hukuman yang seberat – beratnya. Hamba bersedia,” kata Puteri Mahkota meyakinkan ayahandanya.  

Karena sudah tidak ada lagi yang akan disampaikan oleh Baginda Raja maka pertemuan itupun diakhiri. Paduka Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri meninggalkan ruang sidang Sri Menganti diiringi oleh Patih, Panglima, Menteri dan Punggawa.  

  • Kabut Kelabu di Langit Istana

Hari bergaanti hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada porosnya. Siang berubah menjadi malam dan malampun berubah menjadi siang. Demikianlah hidup manusia di duania fana ini. Suatu masas ia bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sehat dan ada kalanya manusia itu sakit. Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah – ubah.

Setahun kemudian, kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan menciderai nama mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka ditimpa Mala Petaka. Ia hamil tiga bulan tanpa nikah. Dan rahasia ini diketahui oleh Paduka Yang Mulia. Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib puteri Mahkota Lala Baka yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia. Peristiwa kelabu ini terjadi kira – kira tahun 1480 masehi, sebelum Agama Islam mmasuk ke Tana Samawa.

Di suatu pagi yang cerah, di ruang sidang Sri Meganti, Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih dihadapi Patih, Panglima, Para Menteri dan para Punggawa guna mendengarkan perintah yang harus dilaksanakan. Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.

”Wahai Patih, Panglima dan Para Menteri,serta para Punggawa pada saat ini kerajaan telah ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus kulakukan kepada putriku Lala Baka ?”, kata Baginda Raja Nuang Sasih meminta pertimbangan.

”Ampun yang Mulia. Segala putusan hamba serahkan kepada Baginda Yang Mulia. Sedangkan hamba Sian melaksanakannya”, kata salah seorang menteri.

Putriku telah memberi malu lepada rakyat tana samawa. Hukuman yang akan kuberikan kepada putriku adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya”, kata Raja Nuang Sasih.

”Daulat Tuanku”, kata salah seorang Patih.

”Wahai Patih dan Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di dalam sebuah hutan lebat. Hutan itu terletak di sebelah desa Senawang. Di dalam hutan itu adasebuah gua yang namanya Liang Bedis. Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah sepasukan tentara pengawal istana”, titah Paduka Raja.

”Daulat Tuanku Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah Paduka Tuanku. Kapan hamba akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih.

”Dua hari yang akan datang. Sekarang lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.

  • Menuju Ke Pengasingan

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Putri Macota Kerajaan Tana Samawa Lala Baka yang dirundung malas atas perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu hidup bahagia, tenag dan tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini akan menerima hukuman dari ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala Baka tidak pernah keluar dari peraduannya.

Sehari sebelum penbuangan dilaksanakan, kakek tercinta menmui cucunya yang sangat disayanginya itu. Dengan air mata berlinang dengan suara terput -  putus memeluk cucunya yang sangat disayanginya.

”Cucuku! Cucuku! Aku sayang padamu!”, kata kakek itu terbata – bata.
”Ampunkan hamba kek, hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasehat ayahanda tercinta.Hamba telah memberi malu keluarga dan seluruh kerajaan. Hukuman apapun yang diberikan oleh ayahanda akan hamba terima dengan hati terbuka’, kata Lala Baka seraya menitikkan air mata seolah – olah menyesal atas perbuatannya.

”Sabarlah cucuku! Menurut khabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku akan dibawa oleh Patih, Panglima, beserta pasukan Pengawal Istana ke sebuah hutan lebat sebelah selatan dusun Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua namanya liang bedis. Di situlah cucuku akan diasingkan.

”Benarkah Kek?”, tanya Lala Baka.
”Benar Cucuku!”, jawab kakeknya.  

Mendengar jawaban kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang ke hutan rimba belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja susananya akan gelap gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika dirinya ditimpa sakit atau kesulitan. Dipandangnya kakeknya seolah – olah memohon belas kasihan. Lalu Katanya :

”Hamba mohon kepada kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba ditempat pembuangan”, kata Lala Baka memelas.

”Baiklah Cucuku. Demi keselamatan jiwamu. Kakek akan memberikan padamu sebuah azimat yang tidak pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat jangan  sekali – kali kau  perlihatkan kepada ayahmu atau kepada siapaun”, kata Kakeknya memberikan harapan dan nasehat.

”Baiklah Kek! Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka
”Inilah azimat itu Cucuku! Sebuah cincin bernama Cicin Bermata Biru. Dalam permata biru ini ini terdapat jin raksasa yang akan menghancurkan segala bala dan petaka yang akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini da apabila ada yang datang mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus kepada yang datang mengganngu. Niscaya musnahlah segala gangguan itu,” kata Kakek menjelaskan.  

”Terima kasih kek,” kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin Permata Biru itu ke jari manisnya yang lentik. ”Doakan hamba selamat ya Kek,” kata Lala Baka.  

Keesokan harinya pada hari yang cukup cerah tibalah saat pembuangan yang telah ditetapkan Paduka Yang mulia Raja Nuang Sasih terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima dan pasukan tentara pengawal istana sudah siap. Patih menghadap Putri Mahkota Lala  Baka guna menjemput Lala Baka untuk segera melaksanakan perintah Yang Mulia.

”Ampu Yang Mulia Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja Yang Mulia,” kata Patih Kerajaan.
”Apakah itu Patih?” tanya Lala Baka seolah-olah belum mengetahuinya.
”Hamba dan panglima beserta seluruh pasukan pengawal istana diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang Bedis,” kata Patih sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih.  

”Ya. Baiklah Patih. Aku telah pasrah menerima seluruh hukuman yang telah diberikan ayahanda kepadaku. Bawalah aku sekarang juga,” kata Lala Baka pasrah.  

Maka naiklah Lala Baka ke atas usungan. Berangkatlah lala Baka dan rombongan menuju selatan Kerjaan Tana  Samawa yaitu ke Liang Bedis di wilayah Dusun Senawang. Dalam perjalanan, Lala Baka diusung oleh laskar pengawal istana diiringi oleh Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna kesedihan yang sangat menyayat hati.  

Sekarang mereka berjalan menyusuri Barng Biji yang berhulu di Gungu Batu Lanteh dan bermuara di laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari perjalanan sampailah mereka di sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput yang luas. Padang rumput itu bernama lenang Lengan. Padang rumput tersbeut terletak di sebelah barat Desa Lenangguar yang jaraknya kira-kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam wilayah desa Lenangguar.  

Para rombongan membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama semalam. Lala Baka diusung ke dlaam kemah dengan cara yang tidak berubah sebagaimana layaknya Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemuaidan Patih berucap:  

”Ampunkan hamba. Kami mohon kepada Putri Yang Mulia jangan mempersalahkan kami. Tindakan hamba hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia,” kata Patih.

”Oh. Aku telah mengetahui semuanya. Tindakan-tindakan para pembesar kerajaan adalah perintah ayahanda tercinta. Kalian smeua tidak bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena diriku telah bersalah memalukan paduka Yang Mulia dan seluruh rakyat Tana Samawa. Pepatah mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu aku telah bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah melakukan kesalahan maka aku pula yang harus menanggung resikonya,” kata sang Putri Mahkota dengan tenang.

Perjalanan selama sepuluh hari telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan keadaan kepada Putri Mahkota.

”Wahai Putri Mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan, persiapan bekal telah habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang maish tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar diketahui oelh Tuan Putri,” lapor Patih kepada Lala Baka.

Lala Baka termenung sejenak. Lala kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang ada di dalam kemah untuk keluar.

”Ku pinta keada semua yang hadir di dalam kemah ini untuk kelua, karena saya ingin beristirahat,” ujar Lala Baka.

Maka segeralah Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari kemah. Mereka maklum bahawa sang Putri dalam keadaan lelah. Sekarang biarkan sang Putri beristirahat untuk menjaga supaya tidak sakit. Di dalam kema, Lala Baka teringat akan Cincin Permata Biru pemberian kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib cincin itu apakah memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah. Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya Cincin Permata Biru itu sambil berkata:
”Ampun Kek! Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk pauk kami dalam perjalanan ini,” ucap Lala Baka kepada Cincin Permata Biru itu. Alangkah anehnya, dari cincin itu keluarlah jin raksasa yang siap melaksanakan perintah Tuan Putri. Segeralah setelah sang Putri memerintahkan, maka jin raksasa itu langsung mausk hutan tanpa ada seorang pun yang dapat melihatnya kecuali Sang Putri Lala Baka. Jin raksasa segera menangkap seekor kijang besar, lalu kijang itu dibawa ke perkemahan. Tidak ada yang melihat jin raksasa itu. Patih dan para Menteri melaporkan bahwa adan kijang jantan besar masuk ke perkemahan.

”Sembelihlah kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri.
Segenap anggota rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Putri Kerjaan yang selama ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa seluruh rombongan menitikkan air mata pertanda ada goresan luka di dada atas nasib yang menimpa Tuan Putri. Sebelum mereka berangkat pulang, kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan Para Menteri.

Paman Patih dan seluruh Manteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan maafku yang terakhir kapada ayahanda tercinta permaisuri. Salam hormatku juga untuk kakekku juga untuk seluruh rakyat Kerajaan Tana Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan perpisahan untuk selama-lamanya,” ujar Lala Baka. Tak terasa sesuai mengucapkan kata-kata itu Lala Baka menangis sesegukan. Sebagai manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada. Rasa sedih dan duka, keharuan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah suratan takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia.

”Tuan Putri sekarang kami mohon pamit,” kata Patih mengakhiri perjumpaan itu. Selanjutnya sleuru rombongan kembali pulang meninggalkan sang Putri sendirian di dalam hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.

·Â Â Â Â Â Â Â Lahirnya Sang Putera

Lala Baka tinggal sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis. Dunia terus berputar mengikuti takdirnya. Waktu berjalan bagaikan air yang mengalir. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu tentang peristiwa itu karena dirinya terasing dalam suatu dunia yang hampir-hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani hidup dan kehidupannya dnegan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian bertambah besar maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya kehidupan Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenangd an tenteram.

·Â Â Â Â Â Â Â Pertemuan dengan Pen Batang

Di suatu pagi yang cerah datanglah seorang pemburu ke hutan itu. Pemburu itu datang untuk berburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawang. Tiba – tiba Pen Batang menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak menuju ke anak sungai. Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah heran, karena terdapat bekas mandi manusia. ”Hm selama hidupku datang berburu ke tempat ini belum pernah berjumpa dengan manusia,” bisik pen batang kepada dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen Batang mendorongnya untuk kembali mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng gunung tersebut. Kira – kira 25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuah gua. Diperhatikannya gua itu dengan teliti dan hati – hati. Pen Batang mengendap perlahan – lahan mendekati gua itu. Tiba – tiba dari dalam gua terdengar suara.
”Apakah tujuan kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua.
Pen Batang terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari dalam gua itu adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan kedengarannya ramah. Pikir Pen Batang jangan – jangan suara itu bukan suara manusia tetapi suara mahluk halus penunggu gua itu. Tetapi Pen Batang segera juga menjawab pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu.  

”Oh.... ya. Aku datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan.
”Masuklah dulu ke tempatku ini kek,” kata Lala Baka melanjutkan.
”Terima kasih nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua Liang Bedis itu.
Lala Baka menerima kkehadiran kehadiran orangtua itu dengan ramah sambil menggendong puteranya.

”Kalau aku boleh tahu. Siapakah nama cucuku yang masih bayi ini anakku?” tanya Pen Batang ingin tahu.
”Oh ya kek. Cucu kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka.
Begitu mendengar nama itu disebut oleh Lala Baka maka Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala Baka.

”Ampun Yang Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu ketenangan Tuan Putri Yang Mulia,” kata Pen Batang setelah tahu siapa sesungghnya yang ada didepannya sekarang.

Melihat Pen Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan.
”Oh. Tenanglah Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ke tempat ini untuk menyelamatkan diri”, kata Lala Baka sambil menarik Kakek itu untuk duduk sepertinya biasanya.

Kemudian Pen Batang melanjutkan pembicaraan.
”Telah tersebar khabar bahwa baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang Putri Mahkota Kerajaan ke suatu tempat di hutan yang lebat. Peristiwa itu terjadi sekitar 7 bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan Puteri Yang Mulia adalah puteri tunggal Baginda Raja Nuang Sasih, Raja Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang.

”Saya mohon pada kakek, untuk jangan sekali – kali membuka rahasia ini kepada siapapun,” kata Lala Baka kepada Pen Batang.”Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Puteri. Hamba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius.

”Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Puteri. Hamba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius.

Sumber : Husain AB Download File