Meke Serep

Pertemuan Di Ruang Sidang

 

 

Pada tahun 1350 Gajah Mada Mahapatih kerajaan Maja Pahit besrta Empu Nala mempersatukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke guna membuktikan cita – citanya yang terkandung dalam Sumpah Pala. Nusantara bersatu di bawah lambang bendera Majapahit di bawah pimpinan raja yang bijaksana yaitu Hayam Wuruk dengan Mahapatih yang sakti yaitu Gajah Mada.

 

Pada waktu rakyat kerajaan Tana Samawa di bawah pimpinan raja yang mulia Raja Nuang Sasih yang memililki kekuasaan dari Empang sampai ke Jerewweh tunduk kepada Kerajaan Majapahit serta memeluk agama Hindu. Sisa – sisa peninggalan ajaran agama Hindu sampai sekarang masih dapat ditemukan dalam praktek kehidupan masyarakat Samawa sehari – hari terutama di desa – desa atau di daerah terpencil. Misalnya mengantar sesajen ke tempat mata air, batu – batu, pohon – pohon kayu yang besar dan lain – lain yang dianggap keramat.

 

Raja Nuang Sasih memimpin Kerajaan Tana Samawa dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup aman dan tentram serta adil dan makmur.Karena itu raha Nuang Sasih sangat dicintai rakyatnya.

 

Di suatu pagi yang cerah di ruang sidang Sri Menganti di istana Kerajaan Tana Samawa penuh sesak dengan tentara Kerajaan, hulubalang, para menteri, punggawa, dan panglima kerajaan. Nampaknya akan ada pertemuan dengan raja Nuang Sasih. Tak berapa lama kemudian Raja Nuang Sasih yang bijaksana dan mulia memasuki ruang sidang yang diberi nama Ruang Sidang Sri Menganti itu. Padukan Raja diiringi oleh para pengawal istana yang sakti – sakti. Semua yang hadir memberi hormat yang khidmat kepada Raja Nuang Sasih. Segeralah Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.

 

“Wahai Panglima” kata Raja

 

“Daulat Tuanku Syah Alam”, jawab Panglima segera.

 

“Apakah para pimpinan bala tentara kerajaan, para punggawa,dan para menteri sudah hadir seluruhnya?”, kata Raja Nuang Sasih.

 

“Ampun yang Mulia, pimpinan, balatentara, para punggawa, dan para menteri kerajaan seluruhnya sudah siap”, jawab Panglima Kerajaan.

 

 

Setelah mendengar laporan dari Panglima, Raja Nuang Sasih segera  memberikan Wejangannya.

 

“Panglima, para menteri, punggawa, serta para pimpinan balatentara kerajaan, maksud dan tujuan kita berkumpul di Ruang Sidang Sri Manganti ini yaitu untuk membicarakan penjagaan dan pengawalan terhadap Puteri Mahkota Kerajaan yaitu Puteriku Lala Baka. Saya perintahkan kepada semua yang hadir untuk dapat menjaga keselamatan puteriku dari perbutan – perbuatan tercela, hingga tidak memalukan kita semua dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa ini”, Kata Raja bertitah.

 

“pengawal!’, Kata Raja memangggil pengawalnya.

 

‘Daulat Tuanku”, jawab pengawal.

 

‘Segera panggil puteriku Lala Baka untuk hadir di ruang sidang ini sekarang juga’, ucap Baginda Raja memerintahkan pengawal.

 

“Daulat Tuanku Baginda Raja”, kata pengawal sambil segera memanggil Lala Baka.

 

Lala Baka adalah Puteri Mahkota Kerajaan Tana Samawa, yang disanjung dan didambakan oleh seluruh rakyat Tana Samawa. Teristimewa oleh Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih beserta Permaisuri. Tak berapa lama kemudian Puteri Mahkota Lala Baka memasuki ruang sidang Sri Menganti, diiringi dayant – dayang istana dikawal oleh para pengawal untuk menghadap ayahanda tercinta. Setibanya di hadapan Paduka Yang Mulia, Lala Baka beserta pengiring langsung sujud sembah yang menggambarkan ketaatan dan kestiaan puteri mahkota. Setelah itu Baginda Raja memulai pembicaraan.

 

“Wahai Puteriku tersayang,” kata Baginda memulai pembicaraan.

 

“Daulat ayahanda tercinta”, jawab Lala Baka.

 

“Maksud dan tujuanku memanggil engkau menghadapku di ruangan sidang ini adalah aku bermaksud menyampaikan nasihat dan perintahku kepadamu puteruiku. Dan aku ingin agar nasihat dan perintah ini disaksikan oleh para menteri,panglima dan seluruh unsur pimpinan kerajaan”, kata Baginda Raja.

 

“Daulat ayahanda tercinta”, ucap Puteri Mahkota Lala Baka.

 

“Begini anakku”, kata Baginda Raja memulai nasehatnya. “Puteri Mahkota adalah merupakan contoh dambaan seluruh rakyat Tana Samawa. Untuk itu aku minta kepadamuperliharalah dirimuagar tidak terjerumus dalam lembah kehancuran. Terlebih –lebih dirimu seorang perempuan dan puteri raja. Jangan sampai kau tergoda oleh rayuan iblisyang jahat. Bersediakah kau puteriku memelihara dirimu?”, ungkap baginda Raja dengan mengajukan pertanyaan.

 

 

Lala Baka tertegun dengan ucapan ayahandanya Baginda Raja Nuang Sasih yang mengandung harapan guna menjawab kehormatan keluarga kerajaan itu. Segeralah Lala Baka menjawab pertanyaan baginda raja

 

 

“Ampun yang mulia. Hamba bersumpah dan berjanji di hadapan ayahhanda tercinta dan dihadapan seluruh pemerintah kerajaan bahwa hamba akan memelihara diri dan tidak akan memalukan ayahanda beserta ibunda, dan seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa tercinta”. Jawab Putri Mahkota.

 

 

Baginda Raja Nuang Sasih dan seluruh yang hadir di ruang sidang mendengar dengan penuh perhatian terhadap ucapan Lala Baka sebagai seorang Putri Mahkota.Kemudian Baginda Raja melanjutkan.

 

 

“ Para Menteri, Panglima, dan Punggawa”, kata Baginda Raja

 

“ Daulat Baginda Raja”, jawab Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.

 

“ Sudahkan kalian semua mendengar sumpah dan janji puteriku?. Tanya Baginda Raja kepada para Menteri, Panglima, dan Punggawa kerajaan.

 

 

“ Daulat Tuanku. Kami semua sudah mengdengar dan menyaksikan . Dan kami semua siap untukmenjaga dan memelihara keselamatan Tuan Puteri, jawab Para Menteri, Panglima, dan Punggawa serentak.

 

 

Baginda Raja merasa sangat senang mendengar kesaksian dan kesanggupan segenap Menteri Panglima dan Punggawa untikmenjaga dan memelihara keselamatan Taun Puteri. Kemudian Baginda Raja memandang kepada Puteri Mahkota dan melanjutkan pembicaraan.

 

 

“ Tapi ingat apabila Puteriku melanggar segala nasihatku maka aku akan memberikan hukuman yang sangat berat kepadamu Puteriku. Bersediakah kau menerima hukuman?”’ kata Baginda Raja.

 

 

“ Daulat ayahanda tercinta, sekiranya hamba melanggar sumpah dan janji maka hukumlah hamba dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba bersedia kata Puteri Mahkota meyakinkan ayahandanya.

 

 

Kabut Kelabu Di Langit Istana.

 

 

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan bumi terus berputar pada porosnya. Siang berubsah menjadi malam dan malampun berubah menjadi siang. Demikianlah hidup manusia di dunia fanaini. Suatu masa ia bahagia, suatu masa ia menderita. Adakalanya manusia itu sakit. Kehidupan manusia di atas dunia ini selalu berubah ubah.

 

 

Setahun kemudian, kerajaan Tana Samawa ditutupi kabut kelabu yang memalukan dan menciderai nama mulia Baginda Raja Nuang Sasih beserta seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Putri Mahkota Lala Baka di timpa mala petaka. Ia hamil tiga bulan tanpa nikah . Dan rahasia ini di ketahui oleh Paduka Yang Mulia . Seluruh rakyat berkabung memikirkan nasib Putri Mahkota Lala  Baka yang akan mendapat hukuman berat dari Paduka Yang Mulia. Peristiwa kelabu ini terjadi kira-kira tahun 1480 Masehi, sebelum Agama Islam masuk ke Tana Samawa.

 

Di suatu pagi yang cerah, di ruang sidang Sri Menganti, Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih dihadapi patih, Panglima, para Menteri dan para Punggawa guna mendengarkan perinah yang harus dilaksnakan. Raja Nuang Sasih memulai pembicaraan.

 

 

“ Wahai Patih, Panglima, dan para Menteri, serta para Punggawa pada saat ini kerajaan telah ditimpa kabut kelabu. Tindakan apakah yang harus kulakukan kepada putriku Lala Baka?’ kata Baginda Raja Nuang Sasih meminta pertimbangan.

 

 

“ Ampun yang mulia. Segala putusan hamba serahkan kepadaBaginda Yang Mulia. Sedangkan hamba siap melaksanakannya’’, kata salah seorang Menteri.

 

 

Putriku telah memberi malu kepada rakyat Tana Samawa. Hukuman yang akan kuberikan pada putriku ialah hukuman yang setimpal dengan perbuatanya”, kata Raja Nuang Sasih.

 

 

“ Daulat Tuanku”, kata salah seorang Patih.

 

“ Wahai Patih dan Panglima bawalah Lala Baka ke tempat pengasingan di dalam sebuah hutan lebat. Hutan itu terletak di sebuah selatan desa Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua yang namanya Liang Bedis Untuk menjaga keamanan dalam perjalanan bawalah sepasukan tentara pengawal istana”, titah Paduka Raja.

 

“Daulat Tuanku Yang Mulia. Hamba akan laksanakan sebagaimana titah paduka Tuanku. Kapan hamba akan laksanakan Yang Mulia?”, jawab Patih.

 

“Dua hari yang akan datang.Sekarang lakukanlah persiapan”, perintah Baginda Raja kepada Patih Kerajaan.

 

 

Menuju Ke Pengasingan

 

 

 

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikian nasib Puteri Mahkota  Kerajaan Tana Samawa Lala Baka yang dirundung  malang atas perbuatannya sendiri. Lala Baka yang selalu hidup bahagia, tenang dan tentram, dikelilingi oleh dayang – dayang istana, kini akan menerima hukuman dari Ayahanda tercinta. Tiga bulan sudah lamanya Lala Baka tidak pernah keluar dari peraduannya.

 

Sehari sebelum pembuangan dilaksanakan, Kakek tercinta menemui cucunya yang sangat disayanginya itu. Dengan air mata berlinang dengan suara terputus-putus memeluk cucunya yang sangat disayanginya.

 

 

“ Cucuku ! Cucuku ! Aku sayang padamu !”, kata Kakek itu terbata-bata.

 

“ Ampunkan hamba Kek ! Hamba telah berbuat dosa telah melanggar nasihat Ayahanda tercinta. Hamba telah memberi malu keluarga dan seluruh Kerajaan Hukuman apapun yang diberikan oleh Ayahanda akan Hamba Terima dengan hati terbuka”, kata Lala Baka

 

Seraya menitikkan air mata seolah-olah menyesalkan perbuatannya.

 

 

“ Sabarlah Cucuku ! Menurut kabar yang kuterima bahwa besok pagi cucuku akan dibawa oleh Patih , Panglima, beserta Pasukan Pengawal Istana ke sebuah hutan lebat sebelah selatan dusun Senawang. Di dalam hutan itu ada sebuah gua namanya Liang Bedis. Di situlah Cucuku akan diasingkan.

 

“ Benarkah Kek ?”, tanya Lala Baka.

 

“ Benar Cucuku !”, jawab Kakeknya.

 

Mendengar jawaban Kakeknya, Lala Baka merasa sangat sedih. Dirinya akan dibuang ke hutan rimba belantara yang sangat jauh dari keramaian. Tentu saja suasananya akan gelap gulita. Tidak ada orang yang akan menolong jika dirinya ditimpa sakit atau kesulitan. Dipandangnya Kakeknya seolah-olah memohon belas kasihan. Lalu katanya.

 

 

“ Hamba mohon kepada Kakek berilah hamba bekal guna keselamatan hamba di tempat pembuangan”, kata Lala Baka memelas.

 

 

“ Baiklah Cucuku. Demi keselamatan jiwamu, Kakek akan memberikan padamu sebuah azimat yang tidak pernah kuberikan pada ayahmu. Tapi ingat  jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada ayahmu atau siapapun”, kata kakeknya membeerikan harapan dan nasehat.

 

“Baiklah kek ! Azimat apakah itu Kek?” tanya Lala Baka.

 

“Inilah Azimat itu cucuku ! Sebuah cincin bernama Cincin Permata Biru. Dalam Permata Biru ini terdapat Jin Raksasa yang akan menghancurkan segala bala dan petaka yang akan mengganggu dirimu. Pakailah cincin ini dan apabila ada yang datang mengganggu maka arahkan permata cincin ini lurus kepada yang datang mengganggu , niscaya musnalah segala gangguan itu,” kata Kakeknya menjelaskan.

 

“Terima kasih Kek”, kata Lala Baka sambil memasukkan Cincin permata biru itu kr jari masninya yang lentik. “Doakan Hamba selamat ya Kek?”, kata Lala Baka. Keesokan harinya pada pagi hari yang cukup cerah tibalah saat pmbuangan yang telah ditetapkan Paduka Yang Mulia Raja Nuang Sasih terhadap Putri Mahkota Lala Baka. Patih, Panglima, dan Pasukan Tentara Pengawal Istana sudah siap. Patih menghadap Puteri Mahkota Lala Baka guna menjemput Lala Baka untuk segera melaksanakn perintah Yang Mulia.

 

“Ampun Yang Mulia Putri Mahkota. Hamba datang menghadap guna menyampaikan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih Kerajaan.

 

“Apakah itu Patih?, tanya Lala Baka seolah – olah belum mengetahuinya.

 

“Hamba dan panglima beserta seluruh Pasukan pengawal Istana diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia untuk menjemput Putri Mahkota untuk dibawa ke Liang Bedis,” kata Patih sesuai dengan perintah Raja Nuang Sasih.

 

“Ya baiklah ppatih. Aku telah pasrah menerima segala hukuman yang bdiberikan ayahanda padaku. Bawalah aku sekarang juga””, kata Lala Baka pasrah.

 

Maka naiklah Lala Baka ke atas usungan. Berangkatlah  Lala Baka dan rombongan menuju Selatan Kerajaan Tana Samawa yaitu ke Liang Bedis di wilayah dusun Senawang.

 

 

Dalam perjalanan Lala Baka diusung oleh Laskar Pengawal Istana diiringi oleh Patih dan Panglima. Perjalanan itu penuh warna kesedihan yang sangat menyayat hati.

 

Sekarang merekaberjalan menyusuri sungai BrangBiji yang berhulu di gunung batu Lanteh dan bermuara di laut Labuhan Sumbawa. Setelah sepuluh hari perjalanan sampailah mereka di sebuah tempat, yaitu sebuah padang rumput yang luas. Padang rumput itu bernama Lenang Lengan. Padang rumput tersebut terletak disebelah Barat Desa Lenang Guar, yang jarakbnya kira – kira 12 km dari Lenang Lengan. Lenang Lengan termasuk dalam wilayah Lenang Guar.

 

Para rombongan membuat perkemahan di Lenang Lengan untuk beristirahat selama semalam. Lala Baka diusung kedalam Kemah dengan cara yang tidak berubah sebagaimana layaknya Lala Baka menjadi Putri Mahkota. Kemudian Patih berucap

 

“Ampunkah hamba. Kami mohon kepada Puteri Yang Mulia, jangan mempersalahkan kami. Tindakan hamba hanya melaksanakan perintah Paduka Raja Yang Mulia”, kata Patih.

 

“Oh. Aku telah mengetahui semuanya. Tindakan – tindakan para pembesar kerajaan adalah melaksanakan perintah ayahanda tercinta. Kalian semua tidak bersalah. Tindakan ayahanda kepada diriku memang benar karena aku telah bersalah, memalukan Paduka Yang Mulia, dan seluruh rakyat tana Samawa. Pepatah mengatakan tangan mencencang bahu memikul. Lagipula dulu aku telah bersumpah dan berjanji di hadapan ayahanda. Aku telah melakukan kesalahan maka aku pula yang harus menanggung resikonya”, kata Sang Puteri Mahkota dengan tenang.

 

Perjalanan selama sepuluh hari, telah menghabiskan bekal mereka. Seluruh rombongan tidak dobolehkan lagi memakan bekal yang ada. Patih berusaha melaporkan keadaan kepada Puteri Mahkota.  

 

“Wahai Puteri mahkota. Sekarang setelah sepuluh hari dalam perjalanan, persiapan bekal telah habis. Seluruh rombongan tidak dibolehkan lagi memakan bekal yang masih tersisa. Karena itu hal ini untuk sekedar diketahui oleh Tuan Puteri”, lapor Patih kepada Lala Baka.

 

Lala Baka termenung sejenak. Lalu kemudian meminta kepada Patih dan seluruh Menteri yang ada di dalam kemah untuk keluar.

 

“Kupinta kepada semua yang hadir dalam kemah ini untuk keluar, karena saya ingin beristirahat “, ujar Lala Baka.

 

Maka segeralah Patih dan para Menteri yang ada di dalam kemah keluar dari kemah. Mereka maklum bahwa sang Puteri dalam keadaan kelelahan. Sekarang biarkan sang Puteri beristirahat untuk menjaga supaya tidak sakit. Didalam kemah, Lala Baka teringat akan Cincin Permata Biru pemberian kakeknya itu. Lala Baka lalu mencoba kekuatan gaib cincin itu apakah memang benar sakti dan dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah. Lala Baka mengangkat lengannya, ditatapnya cincin Permata Biru itu sambil berkata.

 

“Ampun Kek !. Kiranya Kakek dapat menangkap seekor menjangan besar untuk lauk pauk kami dalam perjalanan ini”, ucap Lala Baka kepada Cincin Permata Biru itu. Alangkah anehnya, dari cincin itu keluarlah Jin Raksasa yang siap melaksanakan perintah Tuan Puteri. Segera setelah sang Puteri memerintahkan maka Jin Raksasa itu langsung masuk hutan tanpa ada seorangpun yang dapat melihatnya kecuali sang Puteri Lala Baka. Jin Raksasa segera menangkap kijang yang besar,lalu kijang itu dibawa ke perkemahan. Tidak ada yang melihat Jin Raksasa itu. Patih dan para Menteri melaporkan bahwa ada kijang jantan besar masuk ke perkemahan.

 

“Sembelilah kijang itu,” ujar Lala Baka kepada para Menteri.

 

Alangkah gembiranya seluruh rombongan pada malam itu. Mereka makan malam dengan lauk daging menjangan yang enak dan gurih. Setelah makan malam mereka beristirahat tidur. Patih dan para Menteri terlibat dalam pembicaraan yang serius perihal nasib Kerajaan Tana Samawa yang ditutupi kabut kelabu. Lebih – lebih mereka semuanya merasa iba akan nasib sang puteri Mahkota. Tetapi tak banyak hal yang dapat dilakukan selain menjalankan perintah Paduka Yang Mulia Baginda Raja Nuang Sasih.

 

 

 

Keharuan Di Liang Bedis

 

 

Keesokan harinya berangkatlah segenap rombongan mengikuti arus Brang Kreto, Brang Kemang Menir, Brang Punik, dan Brang Sakal. Setelah lima hari perjalanan sampailah mereka disebuah hutan rimba belantara yang lebat. Mereka memasuki hutan itu hingga sampailah ke tempat yang dituju yaitu Liang Bedis. Sesampainya di Liang Bedis, maka Patih melaporkan kepada Tuang Puteri.

 

“Ampun Tuan Puteri Yang Mulia, disinilah tempat yang diperintahkan oleh Baginda Raja sebagai tempat tinggal Tuan Puteri untuk selama – lamanya.Kami mohon agar Tuan Puteri sabar dalam menjalani cobaan yang berat ini. Kami seluruh rombongan senantiasa mendoakan agar Tuan Puteri senantiasa beroleh keselamatan di tempat ini”, kata Patih mernyampaikan isi hati seluruh rombongan.

 

“Terima kasih aku ucapkan kepada Patih,Para Menteri, Para Punggawa, dan para Pengawal Istana serta seluruh rombongan lainnya, yang telah sudi dan bersusah payah mengantarkanku ke tempat ini. Sekarang kalian semua kembalilah ke Istana dan kudoakan semoga semua sampai dengan selamat kembali ke istana kerajaan ujar Lala Baka dengan sedih.

 

Segenap anggota rombongan terharu mendengar ucapan Lala Baka, yaitu Puteri Kerajaan yang selama ini akrab dan dicintai rakyatnya. Tak terasa seluruh rombongan menitikkan air mata pertanda ada goresan luka di dada tas nasib yang menimpa Tuan Puteri. Sebelum mereka berangkat pulang, kembali Lala Baka berpesan kepada Patih dan Para Menteri.

 

“Paman Patih dan seluruh Menteri. Sampaikan salam hormatku dan permohonan maafku yang terakhir kepada ayahanda Baginda Raja dan juga kepada bunda tercinta Permaisuri. Salam hormatku juga untuk Kakekku juga untuk seluruh rakyat kerajaan Tana Samawa. Siapa tahu perpisahan ini merupakan perpisahan untuk selama – lamanya”, ujar Lala Baka. Tak terasa seusai mengucapkan kata – kata itu Lala Baka menangis sesenggukan. Sebagai manusia ada berbagai rasa yang menyelinap di dalam dada. Rasa sedih dan duka, ekahruan, kerinduan, penyesalan dan lainnya. Tetapi itulah suratan takdir yang sudah terjadi atas diri seorang anak manusia.

 

“Tuan Puteri sekarang kami moho pamit”, kata Patih mengakhiri perjumpaan itu. Selanjutnya seluruh rombongan kembali pulang meninggalkan Sang Puteri sendirian di dalam hutan rimba belantara yang lebat dan angker itu.

 

 

 

Lahirnya Sang Putera

 

 

Lala Baka tinggal sebatangkara di hutan lebat di dalam gua Liang Bedis. Dunia terus berputar mengikuti takdirnya, waktu berjalan bagaikan air mengalir, berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Berbagai peristiwa terjadi di atas dunia ini. Namun Lala Baka tidak banyak tahu tentang peristiwa itu karena dirinya terasing dalm suatu dunia yang hampir – hampir tak terjamah manusia. Lala Baka menjalani hidup dan kehidupannya dengan susah payah. Kondisi kehamilannya yang kian bertambah besar cukup menylitkannya. Segala pekerjaan dikerjakan sendiri. Tetapi lama kelamaan Lala Baka menjadi terbiasa. Dia mencoba menikmati segala duka derita yang dialaminya. Temannya hanyalah kesendirian. Kesunyian hutan kini sangat akrab dengan dirinya. Suara air mengalir, desir angin yang bertiup dicelah pepohonan, kicau burung di puncak pepohonan, dan suara lenguh binatang penghuni hutan telah menjadi nyanyian alam yang akrab dengannya dan menghibur hatinya. Tidak terasa telah enam bulan lamanya Lala Baka tinggal sendirian di Liang Bedis. Usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan. Berarti tak lama lagi ia akan melahirkan anak yang sekarang dikandungnya itu. Satu- satunya yang bisa diminta bantuannya adalah Jin Raksasa yang bersemayam di dalam Cincin Permata Biru yang menghiasi jari maninya itu. Segala keparluannya dilayani oleh Jin Raksasa yang setia kepada segala perintahnya.

 

Akhirnya tibalah saat melahirkan. Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa Lala Baka melahirkan seorang putera dengan selamat. Putera yang dilahirkannya itu sungguh sangat tampan. Wajahnya yang manis manja dan ceria memberikan kesejukan kepada Lala Baka sebagai ibunya. Ditatapnya puteranya itu lalu diciumnya sambil mengucapkan kata- kata sayang. Tak terasa Lala Baka tenggelam dalam keharuan. Setitik air mata jatuh dipipinya, seolah- olah ia ingin membagi duka dengan puteranya yang masih bayi itu. Sekarang harapan hidupnya telah lahir. Lala Baka senantiasa berdoa kepada Yang Maha Kuasa untuk diampunkan segala dosa dan kesalahannya. Dan semoga anak yang dilahirkan ini kelak akan menjadi manusia yang berguna.

 

Beberapa hari setelah melahirkan, Lala Baka bermaksud memberi nama kepada puteranya. Teringat ia akan amanat kakeknya dulu, jika sang buyut telah lahir maka berilah dia nama Lalu Adal. Sesuai dengan amanat kakeknya itu maka Lala Baka memberi nama anaknya Lalu Adal. Selanjutnya kehidupan Lala Baka dan puteranya di Liang Bedis berjalan aman, tenang dan tentram.

 

 

Pertemuan Dengan Pen Batang

 

 

Disuatu pagi yang cerah datanglah seorang  pemburu kehutan itu. Pemburu itu datang untuk memburu rusa. Namanya Pen Batang dari Dusun Senawsang. Tiba- tiba Pen Batang menjadi heran karena ditemuinya jalan setapak menuju anak sungai. Pen Batang mencoba mengikuti jalan setapak itu ke arah sungai. Sesampainya di sungai Pen Batang bertambah hetan, karena terdapat bekas mandi manusia. “Hm. Selama hidupku datang berburu ke tempat ini belum pernah berjumpa dengan manusia” bisik Pen Batang kepada dirinya sendiri. Rasa ingin tahu Pen Batang mendorongnya untuk kembali mengikuti jalan setapak itu menuju ke lereng gunung tersebut. Kira-kira 25 meter dari anak sungai ditemuinya sebuh gua. Diperhatikannya gua itu dengan teliti dan hati-hati. Pen Batang mengendap perlahan- lahan mendekati gua itu. Tiba- tiba dari dalam gua terdengar suara.

 

“Apakah tujuan kakek datang kemari?” tanya suara dari dalam gua.

 

Pen Batang terkejut luar biasa karena suara yang datang menyapanya dari dalam gua itu adalah suara seorang perempuan muda, suara yang lembut dan kedengaran ramah. Pikir Pen Batang jangan-jangan suara itu bukan suara manusia tapi suara mahluk halus penghuni gua itu. Tetapi Pen Batang segera juga menjawab pertanyaan yang datangnya dari dalam gua itu.

 

“Oh….ya. Aku datang kemari untuk berburu rusa”, kata Pen Batang agak ketakutan.

 

“Masuklah dulu ketempatku ini kek”, kata Lala Baka melanjutkan.

 

“Terima kasih nak” kata Pen Batang. Kemudian masuklah Pen Batang ke dalam gua Liang Bedis itu. Lala Baka menerima kehadiran orang tua itu dengan ramah sambil menggendong puteranya.

 

“Kalau aku boleh tahu, Siapakah nama cucuku yang masih bayi inianak ku?” tanya Pen Batang ingin tahu.

 

“Oh…..ya Kek. Cucu Kakek ini namanya Lalu Adal”, jawab Lala Baka.

 

Begitu mendengar nama itu disebut oleh Lala Baka maka  Pen Batang segera bersujud di hadapan Lala Baka.

 

“Ampun Yang Mulia. Sekali lagi ampunkan hamba yang telah lancang mengganggu ketenangan Tuan Puteri Yang Mulia”, kata Pen Batang setelah tahu siapa sesungguhnya yang ada di depannya sekarang.

 

Melihat Pen Batang sujud, Lala Baka segera melanjutkan.

 

“Oh. Tenanglah Kek. Hamba adalah manusia biasa. Hamba datang ketempat ini untuk menyelamatkan diri”, kata Lala Baka sambil menarik kakek itu untuk duduk seperti biasanya.

 

Kemudian Pen Batang melanjutkan pembicaraan.

 

“Telah tersebar kabar bahwa Baginda Raja Kerajaan Tana Samawa telah membuang Putri Mahkota kerajaan kesuatu tempat dihutan yang lebat. Peristiwa itu terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu. Jadi hamba dapat pastikan Tuan Putri Yang Mulia adalah Putri tunggal Baginda Raja Nuang Sasaih, Raja Tana Samawa ini”, ujar Pen Batang.

 

“Saya mohon pada kakek, untuk jangan sekali-kali membuka rahasia ini kepada siapapun”, kata Lala Baka kepada Pen Batang.

 

“Ampun Tuanku. Hamba akan menjunjung tinggi titah Tuan Putri. Haba tidak akan menceritakan kepada siapapun”, jawab Pen Batang serius.

 

“Baiklah Kek. Tadi kakek mengatakan datang ketempat ini untuk berburu rusa. Apakah kakek sudah memperoleh hasil buruan?” tanya Lala Baka.

 

“Ya. Tuanku. Hamba datang untuk berburu. Tetapi rupanya anjing pemburu yang hamba bawa dalam keadaan lemah sehingga tak seekorpun menjangan atau rusa yang hamba peroleh”, kata Pen Batang menjawab pertanyan Lala Baka.

 

Mendenar jawaban Pen Batang, Lala Baka Permisi sebentar ke bagian dalam gua itu. Maka Lala Baka membisikkan kepada Cincin Permata Birunya itu.

 

“Kakek. Tangkaplah seekor menjangan besar untuk kuhadiahkan kepada kakek pemburu itu”, kata lala Baka memerintahkan kepada Jin Raksasa.

 

Maka keluarlah Jin Raksasa dari Cincin Permata Biru pergi menangkap seekor menjangan besar. Setelah Lala Baka memberikan perintah maka Lala Baka kembali menemui Pen Batang ke teras depan gua. Tak berapa lama kemudian Jin Raksasa telah kembali dengan membawa seekor menjangan besar.

 

“kek. Itulah menjangannya sebagai pemberian dariku. Silahkan kakek menyembelihnya dan membawanya pulang”, kata Lala Baka.

 

Pen Batang heran menyaksikan kejadian yang aneh itu. Dia semakin menghormati Tuan Putri Lala Baka. Rupanya Tuan Putri ini memiliki kesaktian.

 

“Terima kasih Yang Mulia”, hormat Pen Batang.

 

“Datanglah selalu ketempat ini untuk menjunguk cucu ya kek? Ujar Lala Baka mengharap.

 

“Baiklah yang mulia. Hamba akan selalu datang menjenguk cucu hamba ini”, jawab Pen Batang.

 

“Tetapi saya mohon kepada kakek untuk jangan sekali-kali membuka rahasia bahwa aku berada ditampat ini” Lala Baka meminta.

 

“Hambah bersumpah. Tidak akan hamba katakan kepada siapapun juga”,jawab Pen Batang sungguh-sungguh.

 

“Terima kasih Kek”, ujar Lala Baka singkat.

 

“Kalau begitu hamba pamit Yang Mulia, supaya sebelum hari malam hamba telah sampai ketujuan”, kata Pen Batang berpamitan.

 

Demikianlah kehidupan Pen Batang dari hari kehari mengambil menjangan ke Liang Bedis. Kejadian itu telah berlangsung selama tiga tahun. Karena tingkah laku dan tindak tanduk yang ramah dari Lala Baka sehingga inginlah Pen Batang beserta istrinya untuk tinggal bersama Lala Baka didalam gua Liang Bedis.

 

Pada tahun 1483 Pen Batang beserta istrinya datang ke Liang Bedis untuk tinggal bersama Puteri Mahkota Kerajaan – Lala Baka. Pen Batang beserta istrinya diterima oleh Putri Mahkota dengan perasaan senang dan gembira. Untuk menjamin kelangsungan hidup Pen Batang maka setiap hari menbawa daging menjangan untuk dijual ke Dusun Senawang, Sebeok, dan Kelawis. Itulah pencaharian Pen Batang selama tiga tahun lamanya.

 

 

 

 

Perintah Dalam Mimpi

 

 

Pada tahun 1486 suatu malam Lala Baka bermimpi diperintahkan oleh leluhurnya untuk pindah dari Liang Bedis menuju arah utara mengikuti arus sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto. Setelah Lala Baka sadar dari mimpinya, lalu segera membangunkan Pen Batang beserta istrinya guna menceritakan mimpinya.

 

“Kek. Saya bermimpi bahwa leluhurku memerintahkan hamba untuk pindah dari Liang Bedis ini menuju utara melalui dan menyuusuri aliran sungai Brang Sakal, Brang Punik, Brang Kemang Menir, dan Brang Kreto”, kata Lala Baka menceritakan.

 

“Jika demikian mimpi Tuan Putri maka laksanakanlah. Jangan ragu-ragu”, jawab Pen Batang.

 

“Terima kasih Kek. Kalau begitu maka sebaiknya kita segera saja berangkat pada besok pagi”, kata Lala Baka.

 

Setelah lima hari berjalan Putri Lala Baka beserta putranya Lalu Adal yang masih berumur enam tahun dengan diiringi oleh Pen Batang beserta istrinya; Sampailah mereka di hulu sungai Brang Kreto. Lala Baka tampaknya sudah tidak kuat lagi berjalan.

 

“Buatlah kemah kek. Carilah daun-daun kayu untuk menjadi atapnya untuk tempat tinggal kita bersama”,kata Lala Baka kepada Kakek Pen Batang.

 

“Baiklah Tuan Putri”, jawab Pen Batag. Maka segeralah pen Batang Bekerja keras untuk membuat rumah yang sederhana. (Sampai sekarang tempat itu, oleh masyarakat Lenangguar, Dusun Teladan, Dusun Kuang Jeringo, diberi nama Arung Ramolong).

 

Setelah selama lima belas hari mereka berada di tempat tersebut Lala Baka dikejutkan oleh putranya Lalu Adal yang meminta kepada ibunya untuk diijinkan melihat Kerajaan Tana Samawa.

 

“Ibu. Hamba ingin melihat Kerajaan Tana Samawa, serta ingin menyaksikan Putra Mahkota Kerajaan Tana Samawa secara langsung. Dan hamba ingin melihat Baginda Raja Nuang Sasih yang merajai Kerajaan Tana Samawa itu”, pinta Lalu Adal kepada ibunya Lala Baka.

 

“Oh… anakku Lalu Adal yang kusayangi. Janganlah kamu mimpi sayang. Tidak mungkin kau dapat bertemu dengan Raja Nuang Sasih dan Putera Mahkota. Cita-citamu terlalu tinggi”, jawab Lala Baka kepada puteranya.

 

“Kenapa tidak mungkin Bu?”, tanya Lalu Adal lebih lanjut.

 

“Karena kita ini adalah manusia yang hina dina, lagi pula kau masih kecil sayangku”, jawab Lala Baka menjelaskan.

 

“Bu ijinkanlah aku pergi bu. Kalau ibu tidak mengijinkan maka lebih baik aku mati saja. Aku akan bunuh diri”, kata Lalu Adal kepada ibunya.

 

Mendengar itu Lala Baka sangat masygul. Anaknya itu masih terlalu kecil lagi pula kerajaan itu masih sangat jauh letaknya. Perlu waktu beberapa hari untuk sampai kesana. Selain itu Lala Baka kuatir jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri Lalu Adal anak satu-satunya itu. Lama juga Lala Baka berpikir dan menimbang-nimbang. Akhirnya sampailah Lala Baka pada kesimpulan./

 

“Lalau Adal anakku. Jika kau bersikeras untuk dergi ke Kerajaan Tana Samawa maka ibu akan mengijinkanmu”, kata Lala Baka kepada putranya itu.

 

Maka senanglah hati Lalu Adal. Anak kecil itu bersukaria melompat-lompat tanda gembira. Maka dipeluknya ibunya itu.

 

“Terima kasih Bu” kata Lalu Adal sambil memeluk ibunya. Ibuna merasa sangat bahagia menyaksikan buah hatinya itu dalam keadaan yang gembira.

 

Lala Baka kemudian memanggil Kakek Pen Batang.

 

“Pen Batang, Kemarilah”, panggil Lala Baka.

 

“Daulat Tuan Putri”, jawab Pen Batang.

 

“Cucu kakek ini ingin melihat Kerajaan Tana Samawa secara dekat. Bawalah Cucu kakek kesana dan peliharalah sebaik-baiknya agar dia selamat. Sekarang persiapkanlah suatu bekal untuk diperjalanan”, kata Lala Baka.

 

Pen Batang yang disebut Kakek oleh Lala Baka itupun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Perjalanan menuju Kerajaan Samawa akan dilaksanakan besok pagi. Sementara itu Lala Baka memanggil anaknya Lalu Adal.

 

“Lalu Adal anakku. Besok kau bersama kakekmu Pen Batang akan berangkat menuju ke Kerajaan Tana Samawa. Selama di perjalanan kamu akan bertemu dengan banyak orang. Bersikaplah yang baik dan sopan” kata Lala Baka memberikan nasehat kepada Lalu Adal.

 

“Baik Bu, hamba akan selalu melaksanakan nasehat ibu”, jawab lalu adal. Kemudian Lala Baka meneruskan pembicaraan.

 

“Apabila nanti ada orang yang mengganggumu atau ada bahaya yang akan mengancam maka perlihatkan cincin permata biru ini, niscaya bahaya dan ancaman atau musuh akan musnah. Ambillah cincin ini anakku”, kata Lala Baka sambil memberikan cincin itu kepada anaknya.

 

“Terima kasih Bu”, kata Lalu Adal sambil menerima cincin itu dan dipasangkan pada jari manisnya. Cincin itu memang ajaib, karena selalu pas di jari orang yang memakainya.

 

Keesokan harinya, pagi-pagi benar  Lalu Adal telah bangun menunggu saat keberangkatannya. Ia tampak sangat gembira. Dimasukkan bekal makanan diperlukan selama dalam perjalanan. Ketika matahari sudah sepenggal naik maka Lalu Adal beserta Kakeknya Pen Batang berangkat menuju Kerajaan.

 

“Selamat Jalan Pen Batang dan selamat jalan Putraku”, kata Lala Baka mengiring keberangkatan putranya itu.

 

“Selamat tinggal Bu. Doakan hamba dalam perjalanan ini”, kata Lalu Adal sambil melambaikan tangannya kepada ibunya .

 

Lala Baka memandang terus kepada anaknya dan Pen Batang yang telah mulai melangkah sampai mereka hilang dari pandangannya. Dalam hatinya Lala Baka terus memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anaknya terlindung dalam perjalanan.

 

Pen Batang beserta Lalu Adal berjalan naik gunung turun gunung. Akhirnya sampailah mereka dipadang rumput yang luas yang bernama Lenang Lengan. Disitulah dulu Lala Baka pernah beristirahat ketika dalam perjalanan menuju ke Liang Bedis. Pen Batang dan Lalu Adal beristirahat dan menginap di Lenang Lengan itu.

 

Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan menuju Kerajaan Tana Samawa. Mereka melalui jalan antara Olat Utuk dan Olat Lawang, yang merupakan pintu gerbang jalan dari Sumbawa ke Orong Telu. Singkat cerita setelah berjalan tujuh hari lamanya sampailah Pen Batang dan Lalu Adal di Tiu Sepadang artinya tempat menghadang. Yang dimaksud bukan menghadang musuh, tetapi tempat masyarakat Kerajaan Tana Samawa menunggu kedatangan masyarakat dari Lunyuk, Orong Telu, dan Batulante untuk tukar menukar barang karena pada masa dulu cara berdagang dengan cara barter. Jadi Tiu Sepadang merupakan pasar bagi Kerajaan Tana Samawa.

 

 

 

Kesaktian Cincin Permata Biru

 

 

Pen Batang dan Lalu Adal masuk ke sebuah gubug, sambil menyaksikan para pedagang tukar menukar barang. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suar seruling dan gendang bertalu-talu menuju Tiu Sepadang. Lalu Adal mendengar suara bunyi-bunyian itu dan lantas bertanya kepada Kakeknya.

 

“Suara apakah itu kek?”, tanyanya kepada kakeknya.

 

“Kata orang yang ramai berdagang ini, Putera Mahkota Kerajaan Tana Samawa turun mandi guna menghibur diri”, kata Pen Batang kepada Lalu Adal.

 

“Wah. Alangkah bahagianya menjadi Putra Raja ya Kek?”. Kata Lalu Adal.

 

Sumber : Husein AB Download File