Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak
tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya
kerap dikabulkan hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan
orangtuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompang Suar terdapat watak yang
kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali
mengganggu anak - anak di dasarnya. Tak jarang menampar dan memukuli anak - anak
seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah
sesuatu yang bukan miliknya sering pula dilakukan. Akibatnya teman sebabnya
menyingkir dan menjauhinya.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah
walaupun berkali - kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya orang
desa menyindir, “kecil teranja - anja besar terbawa - bawa setelah tua takkan
berubah”. Keluh orang tua, “Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi
bencana”. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk
melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai
wilayah cukup luas. Ke Utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar.
Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kelautan ini diperintah oleh
seorang Datu (Raja)yang bernama “Buntar Buana”. Baginda raja
dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah
masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar
atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan - segan
memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar
rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang tiada
dihantui rasa takut dan was - was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat.
Lebih - lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.
Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda
yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak diketahui
kemana perginya. Apakah dilerikan orang ataukah telah tewas tiada seorangpun
yang tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah
dilakukan pencarian namun tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk dimana
Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah tiada awan selembarpun
menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu.
Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang - bincang.
Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap berupaya
menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya
dibawa pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang - bincang selesai, masuklah
seorang penjaga istana dan langsung mengharapka baginda. Setelah menghatur sembah,
penjaga istana itupun berkata.
“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar
istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda”, kata penjaga istana.
“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan
raja, salah seorang berkata.
“Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat
yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia”, katanya dengan
nada penuh harap.
Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun
berkata. “Dari manakah kalian berempat ini, dan apa maksud kalian datang ke
istan petang - petang begini?. Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin
dapat segera diselesaikan”, kata paduka raja.
“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang,
yaitu desa di ujung utara kerajaa baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan
kawan - kawan adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang pemuda
bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan juga
ketentraman anak - anak kami”. Kata salah seorang diantara mereka. ”Perbuatan
pemuda itu tiada sekedar menggangu tetapi telah sampai kepada merampas dan menjarah
barang - barang anak - anak kami tuanku. Mohon perlindunga tuanku”, sambungnya
dengan sopan.
Mendengar laporan itu, paduka raja berucap.
“Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan
tidak membohongi kami. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu
berempat pulanglah”, kata baginda. Setelah itu keempat orang yang melapor itu
pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.
Demikianlah, kesesokan harinya tatkala sang surya
naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya mengahadap paduka
raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh.Tiada berapa
lama Paduka Raja berucap.
“Hai kalian berdua, manakah di antara kalian yang
bernama Jompong Suar?”, tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang baginda
dan menjawab.
“Ampun tuanku. Hambalah yang bernama Jompong Suar
dan inilah ayah hamba bernama Pandelala”, kata Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada keduan tamunya
tiu. Baginda kemudian berucap.
“Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman
adalah idama semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula.
Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji”.
Kata Raja. Baginda raja berheti sejenak lalu katanya:
“Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok,
bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar.
Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku kuperintahkan untuk
mencari dan membawah ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas,
dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya
aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau
kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima”,
kata Baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong rasanya
setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan,
untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya
setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti - hentinya
Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan
kepadanya, Sebentar - sebentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya
segera menenangkannya. Kata ayahnya:
“Wahai anaku, sabarlah meneriama putusan itu.
Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda
akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam, tidak
adil, dan tidak sebanding denga kesalahan yang anakda lakukan”, kata Jompong
Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya.”Tidak baik jika
terlalu menyesali nasib”, lanjut sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat.
“Ketehuila anakku bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya
seringkali memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang
- kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk
ayahnya.
Pada suatupagi sebelum matahari terbit, keluarlah
Jompong Suar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya.
Dipeluknya ayah dan ibunya. Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar
sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orangtua yang di cintainya itu.
Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan
doa, sedang ibunya tak kuasa berucap apa - apa selain isak tangis yang
memilukan memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orangtua tiu terus
mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong
Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu,dan
minggupun berganti bulan telah banyak desa didatanginya mencari berita tentang
bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun
dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar putuan
raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke
hutan rimba dimana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan
di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki,
tak terbilang lembah yang sudah dituruni namun nasibnya belum beruntung.
Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah lama
habis. Perutnya hanya diisi buah - buahan yang dipetiknya dari pohon - pohon
kayu di hutan. Tiada uang ataupun belanja diberikan ayahnya, kecuali hanya
sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah
kantong kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuhnya tatkala
kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui namun belum juga ada
tanda - tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun
binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai kesulitan
itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di
balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin
hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam
dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat jauh
merantau banyak di dapat. Segar dalam ingatanya pepatah yang mengatakan
‘Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas’.
Pada suatu siang, di tengah belantara yang tidak
pernah terinjak kaki manusia, udaranya panas, tiada angin bertiup, cahaya
matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya Jompong Suar
beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenataannya dia akhirnya tertidur.
Beberapa lama Jompong Suar tertidurpulas, tiba - tiba dia serentak bangun. Dalam
tidurnya dia bermimpi seolah - olah ada yang memanggil namanya.
“Dari manakah datangnya suara itu? Dan siapakah
yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini? Pikirnya. Jompong Suar
seolah - olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya. Perasaanya
semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu.
Kemudian ia bangkit dan berjalan. Dilengah keheranannya akan suara panggilan
tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu besar
menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengintari
sekelilingnya untuk meneliti.
Dengan tiada diduga sebelumnya tiba-tiba
dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaanya cemas
bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya itu. Ia memberanikan
diri dan berjalan perlahan - lahan menghampiri mulut gua. Dan alangkah
terkejutnya ketika Jompong Suar melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang
gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum
percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali - kali.
“Apakah aku sedang berhayal?”. “Jika benar apakah
gadis itu manusia biasa?”. “Atau barangkali sosok Jin penghuni gua ini?”,
demikian macam-macam pikira yang muncul di benaknya Jompong Suar terus dihujani
berbagai pertanyaan dalam benaknya. “Kalai gadis ini manusia biasa maka anak
siapakah gerangan?”. “Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang
terasing ini?”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan
langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut gadisd itu
menyapa.
“Duhai Pangeran!. Sipakah Pangeran sebenarnya?. Dan
apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram, dan angker ini?”,
sapanya kepada Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh atas segala
peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa
yang ada di hadapnya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan
perasaannya. Sementara itu putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya
dengan pandangan malu - malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar
menguasai segenap perasaan dan jiwanya maka barulah ia mencoba menjawab sang
putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke
tempat ini yang menjebabkan Tuan Putri terusik”. Kata Jompong Suar merendah
sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa - apa”, kata gadis itu menghibur.
“Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran”, sambungnya.
Kemudian Jompong Suar berbicara. “Tuan Putri,
hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan berdarah biru. Hamba
adalah manusia biasa”, kata Jompong Suar menjelaskan kedudukan dirinya. “Nama
hamba Jompong Suar anak desa, tuan Puteri.” Setelah mendengar penjelasan itu
gadis itupun berkata.
“Wahai kanda Jompong Suar namaku Mandang Wulan.
Tetapi panggil saja aku dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab”.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutka pertanyaan.
“Wahai dinda Mandang Wulan. Gerangan apakah sebabnya dinda berada di tempat
ini. Jika dinda manusia juga seperti aku
tolong jelaskan kepada kanda siapakah ayah bunda adinda dan di manakah mereka
sekarang berada?”.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca - kaca.
Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah - olah ia mencoba membendung
sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnys dengan
pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan
siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah kanda. Akan kuceritakan semuanya. Tetapi
sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun
kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju
serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan
mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam - dalam
seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang sunyi ini aku
hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya bagai dalam
penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat
mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda
melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku
terkonyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini hendak pergi kemana
lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata membasahi
pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan
dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu - satunya yang memberiku hidup di tempat ini
ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari - hari
kupanggil nenek”, kata MandangWulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri
Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa?. Oh......
kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!. “Kata Jompong Suar.
Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai
selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan
jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu kemudian
meneruskan pembicaraan.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari
terbenam. Karena itu tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh
tentang diriku ini. Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi
aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan - jalan di halaman istana tiba -
tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku
meronta - ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak
seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun
lamanya aku tersiksa di tempat ini, tinggal menunggu saatnya aku kan mati”.
Mandang wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya deras mengalir. Segala perasaan
berkecamuk di dalam batinya. Rindu ayahda dan bunda, rindu saudara - saudaranya.
Teringat saat – saat bahagia bersama ayah bunda dan segenap penghuni istana.
teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap hari. Sekarang selama
setahun hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong Suar ada setitik
harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah datang untuk
menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis
jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar mencoba
mencoba membagi perasaan dengan Mandang Wulan, Jompong Suar mencoba untuk
menceritkan dirinya lebih jauh lagi.
“Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian halmu
maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan
menyimak kata - kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya.
Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya.
“Aku ini lelaki yang bernasib buruk tak ubahnya
seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku hukuman
yang berat. Ya hukuman yang sangat berat yang sebenarnya tak kuasa aku untuk
melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas,
berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu maka aku akan beroleh hadiah dari
baginda Raja, tetapi jika tidak maka aku akan mendapatkan hukuman yang lebih
berat lagi. Telah habis daratan kudatangi tetapi bambu itu tidak kutemukan.
Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke tempat ini. Jika
tiada akupun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku kembali. Demikian
dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini”. Jompong Suar
mengakhiri kisahnya.
Kini mandang Wulan merasa agak tenang dan
terhibur. Sekarang setelah hadir di sampingnya seseorang dimana dia dapat membagi
duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk
menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang
selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing - masing.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita”
kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata - kata itu kemudian
dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang Putri raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas
berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga intan, yang akan
menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya.
Namu tak disangka - sangka oleh Jompong Suar tiba - tiba saja Mandang Wulan
memberikannya harapan.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam
tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu
tentu akan berakhir”, kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti
maksudmu”, kata Jompong Suar.
“Oh. Benarkah kata - katamu Dinda?”, tanya Jompong
Suar, tergesa - gesa.
“Benar Kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah
Kanda kita kesana untuk mengambilnya”, lanjut Mandang Wulan. Semakin besar
harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong
Suar tidak menyia - nyiakan waktu. Sebentar saja bambu itu sudah berada di
tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawah Putri
Mandang Wulan pergi ke kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah
bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk
meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari
telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali”, kata Jompong
Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih
dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jomong
Suar.
“Benar Kanda. Tak tahan aku di tempat ini.
Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku kemana
saja. Jangan tinggalka aku Kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku
harus mati maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu, Kanda”, kata Mandang
Wulan.
Keduanya
segera meninggalkan gua mereka itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan
berbunga intan itu. Bambu itu adalah milik Nenek raksasa tidak sebatangpun
terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta, mempunyai empat
ruas dan empat pula buku. Pada setiap buku terdapat sebuah tangkai. Dan di
ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing - masing mempunyai sebuah kuncup
yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama berwara hijau dinamakan kuncup
angin. Tangkai kedua berwarna putih dinamakan kuncup air. Tangkai
ketiga warnanya merah dinamaka kuncup api. Sedangkan yang keempat
berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari batangnya keluarlah sinar
yang indah lebih - lebih di malam hari. Karena itu siang malam kedua remaja itu
terus berjalan berkat adanya sinar terang bambu emas itu menjadi penerang jalan
yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka
berjalan menyusuri belantara, tiba - tiba pada hari keempat terdengar oleh
mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah
suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah
menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari
cahaya bambu emas kepunyaannya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang
mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan angin kepakan sayapnya.
Jompong Suar mulai kuatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak demikian
dengan Mandang Wulan.
“Kanda berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita
dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Maka
seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu.
Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung - raung
kesakitan.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar
mempercepat perjalanan. Gadis itu yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar
mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan
Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan
suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu -
batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah. Mandang
Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan. Rupanya
raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyerap kedua remaja
itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawah beberapa potong tali. Â Suaranya membelah hutan sekitar.
“Sekarang kalian akan mampus. Akan kuikat leher
kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut, agar kalian menjadi santapan
buaya”, geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri
kita. Dia sangat berbahaya kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu
tinggi - tinggi sambil berkata.
“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa
itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata Mandang
Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat
ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah
ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa
yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya.
Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya
terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang kuat
itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah - olah semakin
kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung - raung kesakitan. Tulang
belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar.
Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang
selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah tewas.
Adajuga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat
tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu sang raksasa
ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya
tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala
penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda. Bersyukurlah
kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan”, kata
Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju
kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang
raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak
mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan kerap kali
dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama
desa yang dilaluinya.
Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada
ayah bunda, dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit,
jauh, dan melelahkan itu seolah tidak dipedulikan lagi. Lebih - lebih bahaya
yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya
mereka sampai di batas kota. Tiba - tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong
Suar.
“Kanda kalau boleh dinda bertanya di kerjaan mana
gerangan tujuan kita sekarang dan siapakah pula paduka raja yang telah
menjatuhkan hukuman itu”, tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar
menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya
bambu yang Kanda persembahan ini ditolak oleh dang Paduka Raja, karena boleh
jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan?”,
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar terteguh.
Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang
dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan
diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan
tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang
merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang
lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula.
Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh
sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan
perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan
kemudian Jompang Suar menjawab.
“Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda. Jangan
terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku sudah
mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku sudah
berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan menanggung
apapun akibat dari semua ini”. Kata Jompong Suar menenangkan hati Putri Mandang
Wulan.
“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul
tanggugjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan Kanda menderita seorang diri.
Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi?”
ucap Putri Mandang Wulan.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan
pembicaraan.
“Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju kepada
baginda raja dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita
berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu
kepada kedua orangtuamu. Setelah itu
barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka
Raja Buntar Buana”, kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut
bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah hukuman kepada Jompong Suar untuk mencari
bambu emas itu tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Bersegeralah mereka menuju ke istana Raja Buntar
Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan
kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon ijin
untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawalpun segera melaporkan
kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar berserta seorang
gadis remaja yang cantik. Baginda Rajapun segera memerintahkan pengawal untuk
mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak ada
di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri ini
menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri untuk
tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka keruang istana dimana Raja
Buntar Buana berada disinggasana kerajaan itu. Di ruang istana telah ada pula
permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Disamping itu segenap menteri
dan punggawa juga hadir Jompong Suar dan putri Mandang Wulan segerahlah duduk bersimpuh
untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang
Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah - olah anaknya
yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami
juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana.
Mandang Wulan menatapi kedua ayah bundanya itu. Nampaknya permaisuri tak kuasa
menahan perasaanya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis yang berserta
dengan Jompong Suar yang kini berada di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini
sangat mirip dengan Putri kita Mandang wulan”, kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri,
Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah
Putri Mandang Wulan”, kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua
orangtuanya itu. Suasana jadi berubah penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan
penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu kini telah kembali.
Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan.
Raja Buntar Buana dan seluruh istana serta rakyat
kerajaan sangat bersuka cita. Kini Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil
melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang
telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah
putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu -
elukan baginda Raja. Akhir cerita maka cinta kasih yang telah bersemi antara
Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan
Permaisuri berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar
‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini hidup
rukun penuh kebahagiaan.